Ombak bergulung, bekejar-kejaran
terlihat seperti tak pernah putus asa untuk mengukir bongkahan batu
karang. Sementara, buih-buih putih yang terpencar, seperti merengkuh,
mengajak berenang pasir-pasir putih di pantai Kuta.
Birunya air laut yang berpadu dengan
putihnya pasir pantai, menjadikan panorama alam di sekitar itu bak
lukisan alam yang terhampar di depan mata. Sedangkan bongkahan batu
karang di salah satu sisi pantai, semakin melengkapi harmoni alam
sekitarnya.
“It’s wonderful (sangat indah),” kata
Henry, seorang wisatawan asal Eropa yang baru tiba di Kuta setelah
menempuh perjalanan dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), saat
dimintai komentarnya mengenai Pantai Kuta.
Pantai Kuta adalah salah satu objek
wisata andalan di Pulau Lombok. Pantai yang menghadap “Laut Selatan” itu
berada di wilayah Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah.
Jarak antara Kota Mataram, Ibukota
Provinsi NTB, dengan Pantai Kuta sekitar 70 kilometer, atau satu jam
perjalanan mengendarai kendaraan bermotor roda empat.
Meski jaraknya tidak terlalu jauh, tapi
untuk menjangkau objek wisata itu perlu kesabaran. Sebab, selain jalan
yang berliku dan tidak terlalu lebar, arus lalu lintas di jalur tersebut
juga cukup padat.
Apalagi, jika sepanjang perjalanan dari Mataram ke Kuta, wisatawan lebih dulu disuguhi atraksi budaya “nyongkolan”.
Nyongkolan adalah upacara adat mengantar
calon penganten. Dengan berpakaian adat Sasak, baik tua maupun muda,
mereka berjalan kaki ataupun berkendaraan, mengiring penganten yang akan
dinikahkan.
Dengan demikian, suasana di sejumlah
ruas jalan semakin terlihat semarak, karena dalam arak-arakan pengaten
itu ada pula sekelompok kesenian Gendang Belek berirama rancak, dan
sebagian pengiring tampak berjoget.
Bahkan, perjalanan menuju Pantai Kuta
bisa saja tertunda beberapa saat jika wisatawan ingin juga menyaksikan
pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL), atau berhenti sejenak di
“Desa Wisata” di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut.
BIL dibangun di Dusun Slangit, Desa
Tanak Awu, Kabupaten Lombok Tengah. Bandara itu nantinya akan
menggatikan Bandara Selaparang, Mataram, yang dioperasikan saat ini.
Sedangkan di “Desa Wisata”, wisatawan dapat menyaksikan rumah adat dalam
satu komplek yang ditinggali sejumlah Kepala Keluarga (KK) masyarakat
Sasak.
Belum Terjamah
Jika dibandingkan, Pantai Kuta di Pulau Bali dengan Pantai Kuta di Pulau Lombok, masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Pantai Kuta di Bali cukup dekat dari
pusat kota, sedangkan Pantai Kuta di Pulau Lombok relatif jauh dari
kota. Di kawasan Pantai Kuta Bali sudah dibangun dan dikunjungi banyak
turis domestik maupun luar negeri, sedangkan Pantai Kuta di Pulau Lombok
cukup jauh dari pusat kota dan tergolong relatif masih sepi wisatawan.
Pantai Kuta di Pulau Lombok berada di
sebuah teluk yang tidak terlalu panjang di bagian selatan Pulau Lombok.
Objek wisata ini berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Praya, Lombok
Tengah.
Suasana pedesaan di Pantai Kuta di Pulau
Lombok, masih sangat kental. Rumah-rumah tradisional Sasak nan
sederhana, mudah dijumpai di kawasan ini. Masyarakat Sasak yang tinggal
di sekitar Pantai Kuta di Pulau Lombok yang hidup dari bertani,
beternak, menangkap ikan dan membuat kain tenun, sangat mewarnai irama
kehidupan di kawasan ini.
Bahkan, warung-warung makan, kafe maupun
toko penjual kebutuhan sehari-hari serta cenderamara yang jauh dari
kesan modern, juga masih terlihat banyak berjajar hampir di sepanjang
pantai.
Bangunan yang tergolong mewah di kawasan
itu barangkali hanya Hotel Novotel. Kendati tergolong mewah, hotel yang
cukup luas itu pun dibangun dengan arsitektur tradisional Sasak pula.
Konon, kebersahajaan itulah yang justru
menjadi salah satu daya tarik Pantai Kuta untuk dikunjungi wisatawan.
Alamnya yang asri dan indah, belum banyak terjamah tangan manusia,
menawarkan eksotisme.
“Dalam pengamatan saya yang sering pergi
ke pantai, Pantai Kuta di Lombok jauh lebih menawan dibandingkan Pantai
Kuta di Bali,” demikian di antara catatan perjalanan wisata Yusril Ihza
Mahendra pada Maret 2008.
Pantai Merica
Pantai Kuta di Lombok selama ini juga dijuluki dengan Pantai Merica. Alasannya, menurut warga setempat, karena pantai ini dikenal pasirnya yang putih kekuningan seperti butiran-butiran merica.
Butiran pasir berbentuk merica itu jika
diinjak, kaki terasa tenggelam, susah diangkat untuk melangkah. “Karena
kekhasannya itulah tidak jarang wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kuta
mengambilnya untuk oleh-oleh,” kata Chandra Himawan, seorang wisatawan
domestik dari Jakarta.
Selain bermain di pantai berpasir putih,
di objek wisata itu pengunjung dapat mandi matahari dan berenang di
bagian tepi laut, karena airnya cukup dangkal.
Pengunjung yang ingin menikmati
keindahan pantai dari perairan, dapat menyewa perahu, sementara yang
ingin berselancar ada juga yang menyewakan papan selancar.
Berkunjung ke Pantai Kuta agaknya akan
terasa sangat istimewa saat di tempat itu digelar upacara “Bau Nyale”
atau upacara menangkap cacing laut.
Pengunjung Pantai Kuta saat digelar
upacara “Bau Nyale” sangat banyak, bisa mencapai puluhan ribu. Pantai
yang begitu indah itu akan tertutup lautan manusia.
Nyale dalam upacara itu ditangkap pada
tanggal 20 bulan kesepuluh dan awal tahun Sasak ditandai dengan terbit
bintang “Rowot” (tanda-tanda alam yang dikaitkan dengan pertanian), yang
menurut penghitungan suku Sasak bulan kesatu dimulai pada tanggal 25
Mei dan umur setiap bulan dihitung 30 hari.
Jika dibandingkan dengan tahun Masehi,
perbedaan siklusnya berbeda sedikit atau bulan kesepuluh itu berkisar
pada bulan Pebruari. Menurut sesepuh setempat, nyale yang
hendak ditangkap itu diyakini merupakan jelmaan dari Putri Mandalika
yang pada ratusan tahun silam memilih menceburkan diri ke Laut Selatan
Pulau Lombok ketika kesulitan memilih satu dari tiga pangeran yang
sangat ingin mempersuntingnya.
Konon, dahulu kala terdapat sebuah
Kerajaan Seger yang dipimpin oleh Raja Seg (Seger) yang arif dan
bijaksana dengan permaisurinya Lale Bulu Kuning (Lining Kuning) serta
memiliki seorang puteri yang cantik jelita dan semasa kecil diberi
julukan “Tunjung Beru” (baru muncul).
Menginjak dewasa kecantikan sang putri
itu terus tampak dan namanya diubah menjadi Putri Sarah Wulan (putri
yang memiliki cahaya kejelitaan) yang memikat beberapa pangeran (putera
mahkota) yakni Pangeran Arya Rembitan, Pangeran Arya Bumbang dan
Pangeran Johor.
Ketiga pangeran kemudian melamarnya dan
ketiga-tiganya pun diterima hingga muncul kebingungan. Jika dipersunting
salah satu pangeran, akan menimbulkan kecemburuan hingga terjadi mala
petaka yakni perang saudara atau bencana bagi rakyat.
Setelah mendapat wangsit melalui mimpi,
Sang Putri akhirnya memutuskan untuk menceburkan diri ke laut Pantai
Selatan Lombok itu, pada tanggal 20 bulan kesepuluh Tahun Sasak. Namun,
sebelum melakukan tindakan itu dia lebih dulu mengumumkan keputusannya
kepada semua pengeran dan rakyat.
Sejak saat itulah Putri Sarah Wulan
diberi nama Putri Mandalika yakni Manda yang berarti bingung atau
bimbang dan Lika berati perbuatan. Jadi, Mandalika berarti terperangkap
dan perbuatan yang membingungkan.
Cerita yang lebih cenderung tergolong
legenda ini hingga kini masih hidup dalam kenangan warga Sasak,
khususnya penduduk di sekitar Pantai Kuta, Lombok, NTB.
Sumber: http://lombokgilis.com/tradisi-nyale-cerita-dongeng-suku-sasak-di-lombok-selatan.html
0 komentar:
Posting Komentar